Perspektif Teologi Kristen Menghadapi Pandemi Covid-19

Sejak WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, perdebatannya hingga kini terus berlangsung. Tidak hanya tentang kesehatan, tapi juga dampaknya yang memunculkan multi-disrupsi (multi-gangguan) dalam berbagai bidang kehidupan. Ekonomi, pendidikan, transportasi, pariwisata, stabilitas sosial politik, serta mempengaruhi tingkat kepercayaan dan keyakinan, serta iman umat.

Berbagai perspektif tandingan bermunculan di-platform media sosial, media massa dan ekektronik. Bahwa, Covid-19 adalah hoax, tidak ada, dan merupakan ciptaan teori konspirasi. Bahwa, vaksin mengandung microchip yang dihubungkan dengan angka 666 di kitab Wahyu. Bahkan, mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadillah mengatakan, “Covid-19 adalah buatan pihak ketiga yang korbannya China dan Amerika (Zona Jakarta.com)”.  Serta dalam beberapa kasus, terjadi penolakan pemakaman anggota keluarga yang meninggal karena Covid-19 sesuai Prokes. Perdebatan-perdebatan ini mendorong Crisis Center Covid-19 (C319) Jemaat GPM Wayame melakukan webinar untuk memperjelas posisi, pandangan dan peran Teologi Kristen menyikapi Covid-19, Vaksin dan Prokes menuju new normal life. Webinar ini, dilaksanakan pada Jumat, 13 Agustus 2021, dengan tema “Perspektif Teologi Kristen Tentang Covid-19”, dan dimoderatori oleh Penatua Rony J. Siwabessy (Sekretaris Majelis Jemaat GPM Wayame).

Tiga narasumber dihubungi untuk memberi pencerahan tentang hal ini. Pertama; Pdt. Dr. H. Talaway (Mantan Dekan Fakultas Teologi UKIM) – “Tinjauan Biblika tentang Covid-19 & Vaksin”.  Pendeta Hobert menyampaikan, bahwa (1) Perlunya teologi kristen yang dihidupi dalam hidup dan perilaku umat. Teologi kristen bukan suatu yang mati, tetapi harus dihidupi dan ditumbuh-kembangkan dalam diri dan perilaku umatnya. (2) Perlunya teologi kristen yang kolaboratif dalam menghadapi pandemi Covid-19. Bahwa teologi Kristen tidak bisa berdiri dan bekerja sendiri tanpa kolaborasi dengan bidang sains lain. (3) Perlunya teologi kristen yang menyadari keniscayaan inter-konektivitas jejaring kehidupan. Teologi kristen tidak bekerja dalam ruang hampa, tetapi ada bersama dengan semua ciptaan. (4) Perlunya teologi kristen yang mampu mempertanyakan apa yang akan dilakukan (aksi-praksis). Teologi kristen bukan sesuatu yang statis, tapi harus dinamis. Bukan juga hanya sebatas teoritis, tapi harus implementatif dalam aksi.

Kedua; Pdt. E. T. Maspaitella, M.Si (Ketua Sinode GPM) – “Pandangan Gereja Protestan Maluku (GPM) terhadap Covid-19 & Vaksin”.  Pendeta Elly mengatakan empat konteks praktika yang mendasari pandangan teologi GPM. (1) Iman; Bagi GPM, Covid-19  adalah fakta yg mesti dihadapi dan gereja harus mendorong usaha memelihara kehidupan. Disiplin menerapkan Prokes adalah suatu wujud iman dalam praksis. (2) Hikmat; Kebijakan 3-6M bertujuan untuk memelihara kehidupan diri dan sesama. Mematuhinya berarti mengetahui apa yang baik untuk dituruti dan apa yang buruk untuk dihindari. Itu wujud sederhana dari hikmat. (3) Pemulihan; Doa gereja dalam masa Covid-19 adalah memohon TUHAN pulihkan bumi dan manusia. Bila karena itu vaksinasi adalah salah satu wujud penggenapan doa gereja, maka umat harus memberi diri divaksin. (4) Teologi dalam Praksis; Diakonia transformatif dan pastoralia transformatif adalah bentuk pelayanan gereja dalam masa Covid-19, selain beraneka model pelayanan virtual.

Ketiga; Pdt. Dr (HC). J. F. Manuputty, S.Th, S.Fil., MA (Sekretaris Umum PGI) – “Perspektif Teologi Kristen terhadap Covid-19 & Vaksin”.  Pendeta Jacky menekankan bahwa; (1) Jika Pandemi Covid-19 tidak disikapi dengan iman, maka akan memunculkan epidemi keputusasaan. (2) Gereja harus menjadi pusat pemaknaan. Gereja harus terpanggil untuk memberi makna terkait Covid-19, baik secara teologia, spiritual, maupun pastoral. (3) Bahwa bencana (Covid-19) jangan dilihat sebagai bentuk penghukuman Allah, tetapi harus dimaknai sebagai bentuk rekonsiliasi Allah dan manusia. (4) Bahwa keterpanggilan (perpektif) orang percaya adalah membangun solidaritas dalam Kristus, gereja dan umat untuk merawat kehidupan.

Para narasumber bersepakat menolak Covid-19 sebagai bentuk penghukuman akhir zaman, tetapi lebih kepada cara Allah mengingatkan manusia berperilaku untuk menghargai sesama ciptaan. Bahwa Vaksin Covid-19 adalah cara Allah menyelamatkan manusia, dengan menggunakan para ilmuan dan tenaga kesehatan.  Tidak ada alasan dokrinal yang kuat untuk mengkaitkan vaksin dengan microchip, angka 666, antikristus dan kitab Wahyu. Karenanya, gereja harus berperan mendorong umatnya melakukan vaksinasi, sebagai bentuk partisipasi dan tanggung jawab untuk menyelamatkan diri dan sesama. (erjees)

Please follow and like us:
RSS
Follow by Email