GPM Jemaat Wayame Gelar Sosialisasi Tanggap Bencana

Gereja Protestan Maluku (GPM) Jemaat Wayame menggelar kegiatan sosialisasi tanggap bencana untuk Tim Tagana Jemaat dan Angkatan Muda.

Acara berlangsung di Gedung Gereja Lama Wayame, Jl. Ir. M. Putuhena, Minggu (25/9/2022), diikuti sekitar 30 orang, menghadirkan narasumber dari BPBD Kota Ambon, Novita Berhitu, S.STP, M.Han.

Ketua Seksi POS, Maya Samson mengatakan, tujuan kegiatan ini untuk mempersiapkan Tim Tagana untuk dapat melakukan langkah-langkah penanggulangan ketika terjadi bencana alam maupun sosial.

“Kegiatan yang merupakan program Subseksi Bencana Alam dan Sosila ini sangat penting untuk tim Tagana (Taruna Siaga Bencana) di lingkup Jemaat, karena Wayame termasuk daerah rawan bencana seperti banjir dan longsor,” katanya.

Sementara itu Novita Berhitu dalam kesempatan sosialisasi mengatakan banjir dan tanah longsor banyak kali terjadi karena ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam lingkungan.

“Kita sering dengar slogan katong jaga alam maka alam jaga katong,” katanya.

Ia menjelaskan, sampah merupakan penyebab banjir dan karena itu warga masyarakat harus disiplin menjaga kebersihan lingkungan, termasuk dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat.

“Kalau terjadi banjir, selalu kita lihat sampah bertumpuk di saluran-saluran air. Air itu mengalir dari hulu ke hilir, dan kalau kita menutup salurannya, got (selokan) ataupun gorong-gorong tempat air lewat, maka air itu akan meluap keluar dan menimbulkan banjir,” katanya.

Vita, sapaan akrab, mengatakan dirinya juga datang memenuhi undangan GPM Jemaat Wayame untuk memberikan sosialisasi tentang bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami.

Dalam pemaparannya, Lulusan S1 SPDN dan peraih Master Universitas Pertahanan ini mengungkapkan bahwa kesadaran masyarakat tentang tanggap bencana sangat penting, mengingat Maluku merupakan wilayah di Indonesia yang berada di tiga patahan (sesar) dunia yakni Eurosia, Indo-Austraia, dan Pasifik.

“Katong ini sangat rawan gempa dan tsunami. Khusus di Kota Ambon, katong lebih berat dampaknya bila terjadi tsunami karena merupakan teluk. Kalau di pesisir, tekanan gelombang tsunami berpendar ke berbagai arah, kalau di teluk tekanannya tidak ke mana-mana dan otomatis langsung menghantam daratan (Kota Ambon),” katanya.

Sehubungan dengan itu, masyarakat harus mengetahui bagaimana cara menyelamatkan diri bila terjadi gempa bumi dan tsunami.

Selain mengetahui jalur evakuasi, warga masyarakat juga harus tahu tempat berlindung yang aman (shelter), dan bagaimana berlindung ketika berada di dalam gedung dan terjadi gempa.

“Kalau berada dalam gedung saat terjadi gempa, pertama jangan panik, lindungi kepala dengan kedua telapak tangan, dan masuk ke bawah kolong meja, atau bisa juga bersandar di tiang bangunan atau siku dinding,” katanya.

Vita juga menyatakan warga masyarakat harus mengetahui gejala tsunami atau bencana dari tingkah laku hewan.

“Biasanya kambing, kalau hewan-hewan itu terlihat gelisah dan menyingkir ke tempat timggi, itu artinya akan ada bencana. Bisa juga terlihat dari tingkah laku burung. Kalau melihat burung bergerombol terbang ke tempat tinggi, itu juga artinya bakal terjadi bencana.

Khusus tsunami, lanjutnya, warga masyarakat juga harus tahu istilah “20-20-20”.

“20-20-20 itu artinya, bila terjadi gempa lebih dari 20 detik, maka masyarakat hanya punya waktu atau kesempatan 20 menit untuk menyingkir ke tempat yang tingginya lebih dari 20 meter,” katanya. (JNS)

Please follow and like us:
RSS
Follow by Email