Memahami teks atau apa yang tertulis di dalam Alkitab (Firman Allah) bukan soal mudah. Mereka yang ingin mengetahui makna yang hakiki dari teks ayat kitab suci umat Kristiani itu harus membaca kata demi kata dalam kalimat secara perlahan (jangan tergesa-gesa), teliti, dan seksama. Pendek kata, “Baca pelan-pelan”.
Ajakan, imbauan ataupun anjuran ini dikemukakan oleh Eklepinus J. Sopacuaperu, S.Si.Teol. M.Fil. saat berbicara sebagai Narasumber dalam Pelatihan bagi Perangkat Pelayan Jemaat Wayame, berlangsung di Gedung Gereja Pniel Wayame, Teluk Ambon, Minggu malam (26/6/2022).
Menurut dia, seseorang yang ingin menyusun kotbah baik berupa PA, Renungan, Refleksi, Meditasi ataupun Diskusi (ragam metode penyampaian Firman Allah dalam kebaktian Minggu, persekutuan unit, sektor, wadah pelayanan kategorial, ucapan syukur, dan sebagainya), harus bisa memahami apa makna yang terkandung di dalam kata dan kalimat yang menjadi dasar pelayanan Firman.
Membaca teks Alkitab secara perlahan bertujuan agar setiap kata dan kalimat yang tertulis dapat dicerna secara baik dan benar. Hal ini sangat diperlukan dalam menyusun kotbah.
Dosen Perjanjian Baru dan Eklesiologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon itu mengemukakan, ada beberapa langkah yang mesti diperhatikan dalam menyusun kotbah. Pertama, mulailah dengan berdoa, minta Roh Kudus menuntun dan menerangi hati dan pikiran agar dapat menangkap maksud dari apa yang tertulis di dalam ayat demi ayat yang dibaca. Kedua, dalami bacaan dan konteks pendengar (umat dan jenis kebaktian). Ketiga, desain atau buat rancangan kotbah yang menarik dan menyenangkan.
“Mari kita buka Kejadian Pasal 51,” kata Pa Ekle (sapaan akrab), mengajak peserta pelatihan saat memulai pelatihan. Sebagian dari 100an peserta pun membuka Alkitab. Sejenak kemudian, ia pun berujar santai, “Bapak, ibu, tidak ada Pasal 51. Kitab Kejadian hanya sampai pasal 50,” dan ruangan pelatihan langsung dipenuhi gelak tawa. Ini mungkin salah satu unsur lucu yang dimaksudkan dalam desain kotbah yang disesuaikan dengan pendengar.
“Bagaimana mau berkotbah, jumlah pasal Kitab Kejadian saja tidak tau,” kata Narasumber, dan suara tertawa dari kalangan peserta semakin keras.
Zakheus, Orang Samaria, Angin Ribut
Setiap pelayan yang ingin menyusun kotbah haruslah menggali makna dari setiap kata dalam ayat Alkitab yang menjadi dasar secara lebih mendalam.
Pa Ekle, Pengampu mata kuliah: Pengantar Perjanjian Baru, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Hermeneutik Kontekstual, dan Eklesiologi, memberikan sedikitnya lima (5) unsur dalam membuat kotbah.
Lima hal tersebut adalah :
1. Interpretasi teks yang benar (referensi Yakobus 5 : 16)
2. Kotbah yang baik berasal dari hati pengkotbah dan sampai di hati pendengar (umat)
3. Kotbah harus mendorong terbentuknya spiritual (cara hidup yang baik)
4. Kotbah adalah sebuah dialog (memosisikan umat sebagai mitra), bukan monolog.
5. Teks perlu digali, konteks (situasi) harus digumuli.
Dalam makalah “Kotbah Kreatif: lucu dan menyenangkan”, Narasumber mengemukakan tiga contoh pemahaman tentang kisah Zakheus, Orang Samaria, dan Angin Ribut
Dalam kisah Zakheus, Kepala Pemungut Cukai yang memanjat pohon untuk melihat Tuhan Yesus (Lukas Pasal 19 : 1-10), para peserta disuguhkan beberapa makna dari tindakan Zakheus dan Yesus serta situasi yang terjadi pada saat itu.
Postur Zakheus yang bertubuh pendek dan situasi orang banyak yang mengerumuni Yesus memiliki pengertian bahwa seseorang yang ingin mengenal Yesus selalu diperhadapkan pada tantangan dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Orang banyak yang menghalagi pandangan Zakheus adalah tantangan dari luar, sementara postur tubuh pendek adalah tantangan dari dalam diri sendiri.
Zakheus yang kemudian berlari mendahului orang banyak ke arah yang dituju Yesus, dan memanjat pohon Ara, bermakna usaha keras yang dilakukan oleh si “orang berdosa” (ayat 7) untuk memenuhi kerinduannya berjumpa dengan Tuhan. Usahanya itu membuahkan hasil Yesus berkenan bertamu di rumahnya.
Pemaknaan lain dari kisah Zakheus yang ditulis dalam Lukas 19 : 1-10 adalah sikap Yesus yang bertamu di rumah Zakheus menunjukkan bahwa Tuhan memang mencari orang yang perlu diselamatkan (ayat 10).
Dalam cerita Orang Samaria yang murah hati (Lukas 10 : 25-37), diungkapkan tentang hidup yang kekal, makna sesamamu manusia, imam dan orang Lewi, serta orang Samaria. Hikmat yang bisa dipetik dari kisah ini adalah sikap mencobai (merasa pintar) dan membenarkan diri yang harus dihindari oleh orang percaya, dan orang kelas bawah yang memiliki hati mulia.
Dalam contoh kasus Orang Samaria, sesamamu manusia ada pada posisi orang yang dianiaya penyamun hingga setengah mati. Sabagai orang yang beriman dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, maka sikap orang Samaria yang murah hati mesti menjadi teladan. Menolong orang sampai tuntas, tidak setengah-setengah atau membawa seseorang keluar dari satu masalah untuk masuk ke masalah lainnya.
“Kalau orang Samaria itu tidak menolongnya sampai tuntas (membayar seluruh biaya perawatan dan penginapan bagi korban), maka bisa saja si korban setelah itu harus bekerja di penginapan itu hingga lunas utangnya, bahkan mungkin bekerja sampai mati di sana,” kata Narasumber.
Ketika ditanya soal bagaimana dapat diketahui bahwa korban harus membayar sisa biaya perawatan dan penginapan bila orang Samaria itu meninggalkannya, Narasumber menyatakan hal itu merupakan pengetahuan umum dan bisa dibaca di buku (tafsir?).
Contoh ketiga tentang Angin ribut diredakan (Markus 4 : 35-41). Makna paling jelas yang dikemukakan adalah keberadaan Tuhan Yesus bersama para murid tidak lantas berarti para murid bebas dari tantangan dan badai kehidupan yang mengancam keselamatan jiwa. Tetapi kisah tersebut juga mau menegaskan bahwa segala persoalan kehidupan, seberat apapun itu, tidak lebih besar dari pada kuasa Tuhan.
Penunjang kotbah
Selain mendalami teks dan konteks, para pelayan juga diberikan pengetahuan tentang hal-hal yang menjadi penunjang kotbah.
Unsur-unsur penunjang itu masing-masing :
1. Suara, intonasi dan kecepatan berbicara harus diatur sedemikian rupa agar pendengar (umat) bisa menangkap dengan jelas apa yang disampaikan.
2. Pemilihan kata (sederhana dan mudah dipahami), tidak perlu menggunakan istilah-istilah yang mungkin saja tidak dimengerti oleh banyak pendengar.
3. Struktur (penyampaian kotbah secara teratur). Kotbah yang baik juga harus terstruktur dan sistematis, mulai dari :
a) Pembukaan (bisa ilustrasi, kisah nyata, pengalaman pribadi, atau lagu)
b) Isi kotbah
c) Kesimpulan (pesan dan anjuran/ajakan).
Mari kita sama-sama belajar, menerima pengetahuan dan memraktekkannya. Sekali lagi, baca nas yang menjadi dasar kotbah secara perlahan-lahan agar bisa mendapatkan maknanya. Baca Pelan-Pelan! Tetapi sebelum itu semua, jangan lupa berdoa minta tuntunan kuasa Roh Kudus menerangi hati dan pikiran kita.
Tuhan Yesus memberkati.