
Wayame – pnielwayame.org – Kemajuan teknologi digitalisasi tidak bisa dihambat. Pandemi Covid-19 nyata dan melanda dunia. Dua hal yang berbeda secara substansi, tapi bersinggungan dalam aplikasi. Pandemi Covid-19 mensyaratkan orang tidak boleh berjumpa di dunia nyata. Teknologi digitalisasi justru menjumpakan orang di dunia maya. Dalam konteks Pekabaran Injil (PI), kedua hal ini, masing-masing memberi warna tersendiri.
Ada kekuatiran, digitalisasi dan pandemi dapat menjadi ancaman. Jika tidak dikelola secara baik, maka dapat membawa umat ke jalan yang salah. Namun ada juga yang percaya bahwa, ini adalah peluang. Justru PI menemukan ruang, sehingga dapat mengembangkan model sesuai tuntutan zaman. Dalam kegelisahan itu, sub-seksi PI Jemaat GPM Wayame, mengadakan Webinar, 16 Agustus 2021 lalu. Dua narasumber, Pdt. Dr. Steve Gaspersz (dosen Fak. Teologi UKIM) dan Pdt. Izak Lattu, Ph.D (dosen Fak. Teologi UKSW) diundang untuk memberi pencerahan tentang “Model Pekabaran Injil dalam Masyarakat Majemuk di Era Digital 4.0”.
Pdt. Steve Gaspersz mengatakan, “terminologi PI sudah mengalami pergeseran”. Paling tidak, ada tiga periode waktu, yang secara etimologi merobah mission dari PI itu sendiri. Pertama; dari Amanat Agung Kristus untuk memberitakan Injil ke seluruh bumi sampai dengan pembentukan Eropa Katolik (tahun 400-1400). Pada periode ini, misi PI dari Kristus ke Kristendom (penguasa). Selanjutnya dengan kekuasaan para penguasa, lalu Injil disebarkan dari Yerusalem ke seluruh bumi. Kedua; Era Translasi (tahun 1450-1900). PI tidak akan dimengerti oleh orang/bangsa lain, jika tidak menguasai bahasa. Maka terjadi proses penterjemahan terhadap Alkitab, doa-doa, pengakuan iman, dan buku-buku nyanyian ke berbagai bahasa setempat. Ketiga; Era Jejaring Global Bangsa-Bangsa (tahun 1910-sekarang). Bahwa kekuatan PI adalah membangun jaringan secara global antar bangsa.
Pergeseran paradigma ini disebabkan karena; spirit gereja dan realitas global berubah. Hal ini memaksa pencarian tentang pengertian baru misi PI kemasa depan. Realitas global berubah, karena; runtuhnya kolonialisme, globalisasi, urbanisasi, sosial ekonomi, lonjakan jumlah penduduk, kebangkitan agama-agama, goncangan pergeseran kebudayaan barat, dan juga pandemi Covid-19. Lalu, dengan realitas global yang berubah ini; Apa pentingnya menjadi seorang Kristen.? Apa artinya masuk gereja.? Apa urgensinya membaca Alkitab.? dan banyak pertanyaan lainnya bermunculan.
Pada titik ini, PI harus memberi nilai yang bermakna. Sehingga misi PI kedepan pada hakekatnya adalah; bahwa setiap kita harus menjadi pewarta kristen tanpa harus pakai toga. Bahwa misi PI adalah gerakan yang harus masuk ke ruang-ruang publik. Bahwa misi PI tidak lagi terbatas dalam tembok-tembok gereja. Bahwa misi PI juga punya tanggung jawab dan panggilan untuk mewarnai regulasi nasional. Keterlibatan kita sebagai umat Allah adalah berdasarkan undangan dan perintah Allah. Sehingga, kita terlibat dalam misi Allah melalui sejarah dunia bagi penebusan ciptaan Allah. Misi PI tidak lagi dipahami sebagai ekspansi geografis dan kristianitas, tetapi lebih sebagai tugas yang diberikan Allah. Sehingga, tugas kita adalah mengkomunikasikan kabar baik (Injil). Tidak hanya dalam perkataan, tetapi juga dalam kehidupan dan perbuatan. Dengan demikian, ruang gerak bermisi semakin terbuka dan siapa saja (orang kristen/orang percaya) punya tanggung jawab bermisi.
Sedangkan Pdt. Izak Lattu, memulai bahasan ini dengan lima tantangan dunia kristen khususnya di Asia, yakni; kemiskinan, pluralitas, budaya, nasionalisme dan virtualisme. Beliau lebih menekankan pada era industry 4.0 yang kini telah mulai memasuki era industry 5.0. Teknologi dan kecanggihan peralatan menjadi fokus dalam industry 4.0. Pada era ini, teknolosi dan alat seakan menguasai manusia. Sebaliknya pada industry 5.0, manusia-lah yang harus menguasai teknologi dan peralatannya; maka dibutuhkan tenaga kerja yang trampil dan ahli dibidangnya; pengelolaan lingkungan menjadi perhatian ektra; dan kompetisi global sangat terbuka.
Tantangan teknologi khususnya internet. Pengguna internet (tahun 2021) di Indonesia 195,3 jt orang (72%) dari jumlah penduduk 271,3 jt. Ini sesuatu yang sangat positif. Namun berbanding terbalik dengan itu, orang Indonesia dianggap “tidak beradab dalam relasi digital” bisa disandingkan dengan negara lain di Asia, bahkan dunia. Angka bully di internet, orang Indonesia juga cukup tinggi. Hoax, hate speech & discrimination (berita bohong, ujaran kebencian & diskriminasi) juga cukup tinggi (Digital Civility Index, 2020). Angka-angka ini menunjukkan bahwa, relasi digital orang Indonesia lebih banyak relasi subjek objek. Akibatnya, subjek bisa dengan sesuka hati melakukan apa saja terhadap objek. Padahal, relasi digital adalah relasi subjek subjek; setara dan saling menghormati.
Selain itu, tantangan cyber. Jika tantangan ini tidak diseriusi dengan bijak, maka akan muncul: Cyber Cascade, patahan informasi. Salah paham dan salah komentar, akibat salah informasi yang diterima; Homophile, hanya dengar apa yang ingin didengar. Diluar keinginannya tidak akan didengar; Post Truth, orang yang dipercaya dianggap tahu segalanya. Sehingga informasi yang salah sekalipun dianggap benar. Konsidi ini memunculkan kelompok-kelompok eksklusif yang terpragmentasi dengan pemikirannya sendiri. Bahwa pemikirannya yang paling benar, diluar itu tidak ada yang benar. Dan ini akan berbahaya, jika sudah masuk ke rana ideologi.
Tantangan lain adalah tantangan ruang. Terjadi pergeseran ruang dari ruang fisik ke ruang sakral (sacramental sphere). Dulu, orang masuk gereja dan mengikuti kebaktian dari awal sampai akhir, sekarang berubah. Kebaktian tidak harus di ruang gereja, bisa dilakukan secara online. Jika tidak suka dengar khotbah yang satu, tinggal klik dan pindah channel. Artinya, otoritas khotbah tidak lagi ditangan pendeta, tapi otoritas itu ada ditangan jemaat. Kondisi ini, lalu memunculkan persekutuan orang percaya yang terbentuk karena klik (click holy communion).
Dulu, piring natsar di atas meja sombayang dalam kamar/ruang khusus, dijadikan sebagai tempat berdoa. Sekarang, konsepnya berubah. Piring natsar berubah menjadi dompet digital. Bahkan meja sombayang dan ruang doa sudah sulit dijumpai secara fisik. Namun sesungguhnya nilai sakral (pemahaman tentang kehadiran Tuhan) itu tidak berubah. Tantangannya adalah bagaimana ruang-ruang itu dihidupkan sehingga memberi makna sakral tentang kehadiran Tuhan di dalamnya.
Dalam pemahaman Tuhan (God) yang berkuasa (Omnipotent), Tuhan hadir dimana-mana (Omnipresent), dan Tuhan mengetahui segala-galanya (Omniscience), maka Tuhan yang hadir di ruang gereja adalah juga Tuhan yang hadir di ruang-ruang virtual. Artinya dalam konsep kehadiran Tuhan, Transcedent (Tuhan ada di sana), Immanent (Tuhan ada di sini), Virtual (Tuhan juga ada di dunia virtual). Sesungguhnya konsep virtual sangat melekat dengan tradisi kristiani. Dalam perjamuan kudus, roti lambang tubuh kristus dan anggur lambang darah kristus adalah bentuk virtualisme dalam keyakinan dan imajinasi.
Akhirnya, kita (orang kristen/orang percaya) tidak bisa mengelak dari perubahan ini. Bahwa segala sesuatu tidak ada yang abadi, semuanya pasti mengalami perubahan. Justru yang abadi dan tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Dalam konteks dunia yang berubah ini, maka tantangan misi PI kedepan adalah bagaimana membangun rumah bersama untuk semua. Rumah untuk merayakan perbedaan dalam ruang budaya, nasionalisme dan virtualisme. Rumah yang tidak terpusat pada tempat, face to face (dunia nyata), tapi juga face to screen (dunia maya). Rumah yang sangat tergantung dari keyakinan dan cara pandang (mental image), untuk bisa memahami sesama dan memahami kehadiaran Tuhan. (erjees)*